Friday, February 18, 2011

Buat Apa Bersikap Sombong ? (bag. 1)

Assalamu'alaykumwrwb... :-)
Tahmid wa sholawat, sekedar berbagi hikmah, kita semua nanti punya "gelar" yang sama, yaitu JENAZAH :-)

pic : salah satu sudut saat pemakaman seorang Presiden, kami ikut melihat iring-iringannya dari jendela appartemen...

Tulisan indah itu kubaca dengan haru, “Aku berpesan kepadamu untuk membaca kisah hidup orang-orang shaleh; para shahabat Nabi, tabi’in, ahli ibadah dan ahli zuhud dari kalangan ahlussunnah. Berhentilah sejenak pada kabar-kabar mereka. Dan bacalah perjalanan hidup mereka. Karena itu akan memompa semangatmu dan menorehkan kehausan untuk meneladani mereka. Atau setidaknya membuatmu malu terhadap dirimu sendiri. Malu kepada Rabbmu saat engkau membandingkan hidup mereka dengan hidupmu. Maka tadaburilah kisah-kisah mereka. Hiduplah bersama mereka; dalam kezuhudan, kewara’an, penghambaan, rasa khauf kepada Allah, ketawadhu’an, keindahan budi pekerti dan kesabaran mereka...” (DR. ‘Aidh al Qarni, Hakadza Haddatsana az Zaman, hal : 283-384)

Para pendahulu kita yang jumlah pakaiannya bisa dihitung dengan jari, sedangkan diri ini memiliki bertumpuk-tumpuk baju di lemari, jumlah lemarinya pun banyak, kalau mau menyumbangkan, dipilah-pilih dalam waktu yang lama. Para pendahulu kita makan dan minum dengan sederhana, beralaskan tikar dan lauk-pauk sekedarnya, dan dengan sederhana seperti itu pun, mereka tetap gemar bersedekah, namun diri ini harus menuruti mood, maunya makanan ini-itu, duduk di kursi empuk atau sofa, hidangan lengkap bahkan sering tersisa banyak akibat lapar mata. Para pendahulu kita rela memiliki jam tidur yang hanya sedikit, waktu-waktu hidupnya penuh ukiran menimba ilmu, memahami Al-Qur’an dan sunnah Rasul-NYA, sujud malam tak tertinggal, dhuha pun tak terlewatkan. Sungguh hal itu menguras air mata, malu, sungguh malu dengan para pendahulu kita, yang mereka yakini bahwa mereka memerlukan Sang Khaliq untuk berlindung dan meminta rahmatNYA, agamaNYA akan tetap kokoh dan tegak dengan utuh walaupun tiada kita hadir berkontribusi di dalamnya.

Mereka yang sangat menjaga ibadah wajib serta mengoptimalkan yang sunnah, namun tetap rendah hati dan menjaga jiwa agar terjauh dari keangkuhan. Rasulullah —Shallallahu 'Alaihi Wassallam— yang merupakan “Al-Qur’an berjalan” serta dijamin Allah SWT untuk berada di jannahNYA, tidak pernah sedikit pun mencemooh atau mencela orang lain. Siapapun selalu beliau hargai meskipun kaum non-muslim. Para shahabat yang telah diberiNYA ilmu dunia akhirat pun, yang sudah punya “posisi jadi tetangga Rasulullah SAW” di surga, sedikit pun tak ada kita baca riwayat mereka berlaku sombong atau membanggakan diri.

Para pendahulu yang penuh keteladanan diri namun “kepopulerannya di zaman ini” sering terpinggirkan akibat tontonan anak muda semacam film-film remaja, group-band, penyanyi terkenal, dsb. Mereka sering berkata, “Cukuplah dengan ilmu, membuat (seseorang) takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Dan cukuplah dengan kebodohan, membuat (seseorang) lalai mengingat Allah SWT”.

Namun di arus modern tanpa batas ini, Ilmu bagi seseorang bisa menjadi penggusur keimanan, penyubur kesombongan, serta pemutus urat-urat malu. Ilmu dipakai untuk mencari kekayaan semu yang banyak, semegah-megahnya. Sungguh ironis.


Selanjutnya, baca di link-kisah, Eramuslim ini saja yah, sobat-sobat tersayang...

:-) Semoga bermanfaat, salam ukhuwah slalu... barokalloh with family!

No comments:

Post a Comment